Pada masyarakat Melayu sejak dianutnya Islam sebagai agama, maka ketentuan dan keputusan didasarkan ajaran Islam. Hukum yang dianut, yaitu hukum syarak. Terkenal dengan ungkapan, “Adat bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Masyarakat Melayu tidak membabi buta setia pada raja atau sultannya seperti ada ungkapan, “Raja adil raja disembah, Raja zalim raja diisanggah”. Ini berarti rakyat Melayu senantiasa mengawasi kebijakan pemimpinnya.
Model kepemimpinan tradisi melayu, kini di sederhanakan dengan istilah model kepemimpinan transformasional di era kontemporer. Model kepemimpinan transformasional adalah model kepemimpinan yang ideal di tengah situasi Indonesia saat ini. Kepemimpinan transformasional merupakan sebuah proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Dalam tradisi melayu ini di gambarkan dalam ungkapan Dilebihkan sehari Dilebarkan setapak tangan Ditinggikan seranting Dilebihkan sebenang. Ungkapan itu dengan tegas menunjukkan, bahwa antara pemimpin dengan rakyatnya jaraknya hanya sekadar “didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting”, sehingga mudah dijangkau dan dihubungi. Bahkan dalam ungkapan adat yang lain ditegaskan lagi, “jauhnya tidak berjarak, dekatnya tidak berantara.” Dengan demikian akan terjalin hubungan yang akrab antara pemimpin dengan rakyatnya.
Orang tua-tua melayu ada mengatakan “apabila pemimpin arif dan bijak, rakyat sentausa marwahpun tegak” atau dikatakan “apabila pemimpin berbudi mullia, rakyat taat negeri Berjaya” atau juga dikatakan “apabila pemimpin berbudi luhur, takyat sejahtera negeripun makmur, apabila berlapang dada, negeri aman rakyatnya senang”. Sebaliknya orang tua-tua juga mengatakan “apabila pemimpin tak tahu diri, umat binasa rosaklah negeri” atau dikatakan “apabila pemimpin dimabuk kuasa, negeri kacau rakyat terseksa” atau juga dikatakan “apabila pemimpin tamakkan harta, negeri karam rakyat menderita” dan apabila pemimpin tidak semenggah, kemana orang pergi menyanggah”.Selain itu, masih banyak lagi ungkapan lain yang berunsur peringatan (Effendi, 2002:255).
Petuah orang tua-tua ini menunjukkan bahwa pemimpin hendaklah memahami dan menghayati nilai asas yang ada dalam masyarakat yang dipimpimnya, terutama dengan nilai-nilai agama dan adat budaya tempatan. Dengan pemahaman, penghayatan, serta pengamalan nilai murni itulah, tuah dan marwahnya akan tegak dan negeri serta rakyatnya akan hidup dengan aman dan sejahtera. Dengan pemahaman itu pula ia akan menjadi pemimpin yang handal dengan gaya kepemimpinan yang penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan.
Kini, dalam era globalisasi dan lintas batas dunia yang kian menyempit, dunia melayu semakin mudah berhubungan dan semakin memungkinkan terwujudnya persebatian alam melayu yang bersifat sejagad. Tatanan luhur budaya melayu yang berasaskan Islam dapat dikukuhkan dan dijadikan sandaran serta acuan dalam membina kepemimpinan masa kini dan yang akan datang. Sebab, pemimpin dan kepemimpinan melayu adalah metode yang berlandaskan kepada akhlak mulia. Hanya dengan akhlak yang mulia dan moral yang baiklah
pemimpin dan kepemimpinan dapat mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sejahtera, dan selanjutnya dapat mencapai kedamaian di muka bumi.
Seorang pemimpin wajib ditaati dan dihormati selama baik dan benar. Pemimpin yang diangkat oleh masyarakat disebut “ditinggikan seranting, dimajukan selangkah” yang lazimnya diambil atau dipilih dari warga masyarakat yang memenuhi kriteria tertentu. Orang seperti inilah yang dijadikan contoh dan teladan yang “lidahnya asin pintanya kabul”, yang dianggap mampu mendatangkan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Jadi, seorang pemimpin harus benar-benar orang pilihan yang berwibawa, memiliki berbagai keutamaan dan kelebihan untuk mendukung misi kepemimpinannya. Oleh karena itu, ia harus dihormati dan dibantu sekuat-kuatnya oleh masyarakat yang dipimpinnya (Effendi, 2006:65-6).